Upaya pemerintah Indonesia mengangkat isu terorisme dan radikalisasi sebagai fokus utama dalam Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri negara ASEAN-Uni Eropa di Bangkok, Thailand pada 13 hingga 14 Oktober kemarin, merupakan langkah yang tepat. Sudah saatnya pemerintah Indonesia mengambil peran penting dalam isu yang tengah mengemuka di kedua kawasan tersebut.

Hal ini sejalan pula dengan pernyataan Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN, Fransisco Fontan Pardo pada akhir Januari lalu sebagaimana dilansir di media massa. Isu terorisme merupakan isu penting yang mengemuka sejak pesawat sipil yang dibajak teroris menerjang dan meruntuhkan menara kembar gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001.

Sebagaimana Abang Sam, Indonesia dan juga Eropa merasakan pahitnya serangan teror. Di Eropa sepajang satu dekade belakangan ini tak luput dari serangan teror. Terakhir, sebuah serangan teror dengan truk yang menabrak kerumunan massa di kota Nice, Prancis pada pertengahan Juli 2016. Serangan yang terjadi di tengah perayaan Bastile Day itu menewaskan 80 orang dan melukai 100 lainnya.

Sebelumnya pada November 2015, Setidaknya 130 orang tewas dalam rangkaian aksi penembakan di kafe, restoran, tempat konser, hingga stadion olahraga di mana Presiden Prancis Francois Hollande dijadwalkan menghadiri satu pertandingan persahabatan. ISIS mengaklaim menjadi dalang serangan ini.

Belum lagi sejumlah serangan ke sejumlah kawasan di Eropa, seperti Bandara Kemal Ataturk, Turki; Brussel di Belgia;  Kopenhagen, Denmark; London, Inggris; dan Madrid, Spanyol.

Serangan Bom Thamrin pada Februari lalu dan Operasi Tinombala di Poso pada Juli kemarin dalam memerangi jaringan teroris yang berbaiat ke ISIS semakin membuat Jakarta berkomitmen kuat terhadap upaya penanggulangan terorisme di tataran domestik maupun internasional. Di tingkat regional, Indonesia juga berkepntingan dengan Filipina menyusul sejumlah aksi penyanderaan anak buah kapal asal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf.

Dalam era global dewasa ini terorisme bukan lagi menjadi isu Amerika, Eropa, Asia, maupun Indonesia saja. Aksi terorisme, yang kini dimotori ISIS, memberikan dampak pada national maupun international security. Ancaman kedaulatan semakin dekat dan nyata sehingga menimbulkan keresahan di pemerintahan dan publik. Sebagaimana diungkap Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Inspektur Jenderal Lutfi Lubihanto ada sekitar 1.242 WNI yang menjadi simpatisan ISIS. Sebanyak 383 WNI terlibat ISIS di Suriah, 75 WNI berencana akan pergi ke Suriah, 54 WNI meninggal di Suriah, dan 47 WNI sudah kembali dari Suriah.

Hal itu sejalan dengan pemikiran Shahrbanou Tadjbakhsh dan Anuradha M. Chenoy, dalam bukunya Human Security: Concepts and implications, (Oxon: Routledge, 2007), mengungkapkan dalam perspektif konstruktivisme, ISIS menjadi ancaman bagi banyak negara lantaran ISIS dituding menyebarkan nilai-nilai yang, secara langsung ataupun tidak, memberikan dampak kepada human security dan national security. Karena itu komitmen pemerintah Indonesia untuk mengatasi ancaman terorisme dengan terus menggunakan pelbagai upaya kerja sama dengan negara-negara lain secara bilateral, regional, dan multilateral perlu terus didukung.

Apalagi awal tahun kemarin, Presiden Joko Widodo di KTT ASEAN-Amerika Serikat mengingatkan pentingnya kerja sama dalam tiga hal, yakni mempromosikan toleransi, memberantas terorisme dan ekstremisme, serta mengatasi akar masalah dan menciptakan suasana kondusif terhadap terorisme. Sebagaimana dikatakan Donald M. Snow, dalam bukunya National Security for a New Era, (New Jersey: Pearson, 2009), Apabila national security tidak mampu dicapai oleh sebuah negara, maka human security pun akan terganggu.

Di sinilah pentingnya penggunaan pendekatan soft-diplomacy di mana berbagai negara di bawah naungan organisasi internasional, seperti ASEAN,  membangun komitmen bersama dalam memberikan pendidikan kepada masyarakatnya tentang pentingnya nilai-nilai agama. Sehingga diharapkan masyarakat dapat memahami apa itu ISIS dan mengapa dunia internasional menentangnya serta apa yang perlu dilakukan masyarakat agar tak mudah terpengaruh dengan nilai-nilai negatif ISIS terkait aksi vandalisme dalam beragama dan ide membentuk negara Islam.

Di samping tentunya perlu dukungan kerjasama antarlembaga penegakkan hukum, semisal Densus 88 dan BNPT dengan lembaga-lembaga serupa di mancanegara. Tentu diharapkan kombinasi kerjasama sinergis di lingkup internasional dan domestik ini dapat membantu Indonesia mencapai kepentingan nasionalnya dan memulihkan kembali citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia. ANDRE PRIYANTO*

Mahasiswa Sekolah Kajian Strategis dan Global UI