Sebuah jurnal tentang bagaimana menerapkan strategi operasi kontra intelijen dalam menghadapi ancaman siber nasional amat menarik ditulis oleh Yosua Praditya Suratman (Suratman, Yosua Praditya. 2017). Dalam tulisan tersebut staf pada Sekretariat Dewan Analisa Strategis itu berupaya menggambarkan bahwa (1) Serangan siber makin menjadi tren di dunia dalam satu dekade terakhir; (2) Indonesia menjadi sasaran empuk para penjahat siber karena belum memiliki SDM, infrastuktur, dan lembaga yang memadai dalam mengawasi, menganalisa, mendeteksi, mencegah, dan melawan baik secara aktif maupun pasif serangan siber tersebut. Keterbasan tersebut membuat Indonesia masuk ke dalam wilayah yang menjadi sasaran empuk para penjahat di dunia siber.

Hal ini dikarenakan jumlah pengguna Internet di Indonesia amat banyak dan meningkat terus dari tahun ke tahun. Mengutip ulasan berita di Kompas (2016, Pengguna Internet di Indonesia Capai 132 Juta. 2016 Kompas Online). Suratman menyebutkan saat ini di Indonesia terdapat  132 juta pengguna Internet, dimana sebagian besar mengakses lewat perangkat genggam dan komputer. Adapun mengutip Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), tercatat bahwa sekitar 86,3 juta orang atau 65 persen dari angkat total pengguna internet tahun ini berada di Pulau Jawa.

Berdasarkan informasi tersebut di atas, Suratman kemudian berupaya membandingkannya dengan kesiapan pemerintah dalam mengatur keamanan siber nasional. Sebab, sebagaimana diulas di awal tadi, Suratman melihat bahwa pemerintah belum sepenuhnya siap menghadapi serangan siber yang semakin  berkembang dan luas akhir-akhir ini. Mengutip Ardiyanti dalam tulisannya di Jurnal Politica, Cyber Security dan Tantangan Pengembangannya di Indonesia, (Ardiyanti, Handrini. 2014) Suratman mengatakan terdapat lima kebijakan cybersecurity di Indonesia yang perlu mendapat perhatian penuh, yaitu:

(A) Masih lemahnya kepastian hukum atau aspek legalitas penanganan kejahatan di dunia cyber. Sebab, kata Suratman, meski telah ada peraturan perundang-undangan yang melarang bentuk penyerangan atau perusakan sistem elektronik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No.11/ 2008), namun belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus cyber crime dan penanganannya. Padahal di sisi lain, bentuk kejahatan dunia cyber semakin meningkat dan pola kejadiannya sangat cepat sehingga sulit untuk ditangani oleh aparat penegak hukum;

(B) Belum adanya koordinasi yang baku di antara sesama instansi penegak hukum dalam hal teknis dan tindakan prosedural penangganan kejahatan cyber dan penanganan yang masih bersifat parsial atau belum menyeluruh. Kondisi tersebut kian diperparah dengan rendahnya kesadaran akan bahaya ancaman serangan siber terhadap sejumlah obyek vital milik pemerintah, seperti terjadinya kasus gangguan terhadap sistem radar penerbangan di bandara internasional Soekarno-Hatta yang beberapa kali mengalami gangguan.

(C) Dalam kaitan dengan organisasi penanganan cyber-security dalam kerangka pertahanan negara hingga saat ini masih bersifat sektoral dan belum terkoordinasi serta belum terpadu. Meskipun pada akhirnya, pemerintah berhasil membentuk Badan Siber dan Sandi Negara Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara;

(D) Begitupula dalam kaitan dengan Capacity Building diperlukan pembinaan SDM tentang arti pentingnya cyber-security guna meningkatkan pemahaman langkah-langkah preventif dalam menangkal segala tindak cyber crime;

(E) Perlunya memperluas kerjasama internasional dengan organisasi di kawasan (regional) maupun internasional dalam rangka penanggulangan cyber crime.

Dalam kaitan dengan beberapa poin di atas maka Suratman menawarkan sebuah solusi yakni perlu adanya pendekatan cyber-intelligence. Ia beralasan intelijen siber itu merupakan sebuah pendekatan preemptive yang bersifat rahasia. Tujuannya adalah untuk mempersempit ruang gerak, menangkal, menggagalkan, dan menghancurkan operasi intelijen lawan, yang dalam hal ini berkaitan dengan serangan siber. Kesimpulan dari jurnal ini adalah bahwa salah satu solusi untuk menghadapi ancaman serangan siber di tengah ketidaksiapan pemerintah saat ini adalah operasi kontra intelijen. Strategi kontra intelijen menjadi salah satu pilihan utama karena ia bersifat rahasia serta mampu mempersempit ruang gerak ancaman siber dari berbagai

lini. Langkah dan strategi intelijen menjadi garda terdepan dalam menghadapi serangan siber yang diprediksi akan terus meningkat di masa mendatang.

 

ANDRE PRIYANTO, Mahasiswa Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI