Dilihat dari perspektif oposisi, memang hanya Presiden Jokowi yang dianggap pantas disalahkan atas anjloknya rupiah. Meskipun semua menyadari Presiden di seluruh negara selalu memiliki keterbatasan, baik dalam berpikir maupun bertindak. Pada hakikatnya, negara tidak dapat berjalan tanpa manusia, dan oleh karena itulah tidak ada negara yang sempurna, sama halnya dengan manusia. Maka sebagian kalangan menganggap bahwa menyalahkan Presiden adalah hal yang sia-sia.
Sejak nilai mata uang USD semakin hari semakin menjadi-jadi, dalam kondisi rupiah yang tertekan, bermunculan banyak ekonom dan ahli moneter yang berusaha berkontribusi menyuarakan isi pikirannya, mencoba memberi solusi atas apa yang sedang di alami negeri ini. Tidak jarang dikemukakan beragam landasan filosofis dan argumen teknis yang pada akhirnya menjadi solusi praktis agar supaya dilakukan oleh Presiden Jokowi maupun rakyat Indonesia. Sebagai contoh, Prof Suahasil Nazara, Kepala Kebijakan Fiskal Indonesia dari Kemenkeu, menyarankan Pemerintah untuk menambah supply USD di pasar domestik Indonesia, menurunkan impor dibarengi dengan menaikkan ekspor, dan dolar dari ekspor harus ditukarkan ke rupiah, menaikan Foreign Direct Investment serta memperbaiki iklim usaha. Disisi lain, Bhima Yudhistira, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menegaskan masyarakat untuk mengurangi konsumsi barang-barang impor, tunda perjalanan keluar negeri, perbanyak konsumsi barang domestik, jika punya dolar bisa langsung ditukarkan ke rupiah. Itulah sebagian kecil nasihat dari para ahli, baik untuk Pemerintah maupun masyarakat.
Hampir semua ahli yang menuliskan rekomendasi kebijakan melalui media sosial tentu memiliki hasrat ingin didengar, diperhatikan analisanya, meskipun terkadang mereka sendiri sadar hanya sedikit rakyat yang akan melihat, dan kemungkinan Presiden membacanya pun sangat kecil. Kesadaran ini bukan tanpa alasan, karena hampir semua orang tahu bahwa Presiden sudah memiliki ahli-ahli yang membisikinya, yang menerangkan dengan lugas langkah-langkah konkret untuk diimplementasikan, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Para ahli di lingkungan istana pun pasti selalu ingin didengar dan diikuti rekomendasinya, bahkan ada pula yang menerangkan analisanya dari sudut pandang intelijen, yang dianggap sangat penting untuk didengar Presiden. Tetapi realitas politik selalu berbeda, John Nixon, mantan agen intelijen CIA pernah mengakui bahwa “Saya dulu berpikir bahwa apa yg dikatakan di CIA berguna dan presiden akan mendengar. Namun, tidak penting apa yg kita katakan, politik melampaui intelijen”.
Dalam kasus ini, jelas bahwa beragam kepentingan dari berbagai kalangan selalu mengelilingi Presiden, itulah realitas politik yang terjadi. Para Analis kebijakan publik pun adakalanya menyerah dengan keadaan, mereka bahkan mengakui betapa besar peran the invisible hand dalam dinamika pengambilan keputusan Presiden.
Lalu Presiden Jokowi harus apa? Tentu sangat kecil kemungkinan tulisan ini akan dibaca oleh RI-1, sekalipun tulisan ini mengandung banyak rumus dan konsep, Presiden tentu sudah memiliki keyakinan tersendiri harus melakukan apa. Namun demikian, setidaknya jalan tengah yang dapat diupayakan oleh seorang Presiden, baik yang sekarang, atau siapapun yang akan menjadi Presiden dimasa depan, dalam masa-masa sulit perlu dilakukan manajemen krisis yang tepat, menemukan ahli yang benar-benar berintegritas dan terpercaya. Cukup itu saja.
Dengan demikian, Indonesia perlu melatih sumber daya manusia yang siap menghadapi dan menyelesaikan krisis. Banyak orang yang bisa mengelola negara dalam kondisi damai, tetapi sedikit yang siap secara mental dan intelektual menghadapi krisis dan perang. Jangan mudah panik, minumlah segelas kopi di pagi hari dengan tenang. Raihlah inspirasi pagi!
YOGASWARA P (Analis Fundamental CMG, KSI-UI)
MOST COMMENT