Globalisasi tak mungkin bisa dihindari. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dipadu dengan jaringan peta lebar dan jaringan internet membuat batas-batas wilayah menjadi pudar. Lalu di manakah posisi Indonesia?

Globalization is no longer a buzzword: it has arrived. There is substantial   evidence for an increasingly globalized marketplace. World trade is expanding  much faster than world production and cross-border investments are growing  at a more rapid rate than trade. People in one country are more likely to be affected by economic actions in other nations in many capabilities: as customers, entrepreneurs and investors, managers and taxpayers, and citizens.  

—  Murray Weidenbaum,

Political Economist (World Politics: Trend and Transformation, Wadsworth, Cengage Learning 2011).



Dalam kampanye maupun debat calon presiden Indonesia belum lama ini ramai kata “asing” digunakan. Mulai dari isu tenaga kerja asing (TKA), perusahaan asing (Multinational Corporations), hingga konsultan asing. Bahkan isu semakin meruncing manakala disebut pemerintah menjual aset-aset negara ke tangan korporasi asing. “Seluruh kekayaan bangsa harus dimiliki oleh kita sendiri. Tapi ada pemimpin yang menjual aset, dengan gampangnya membiarkan wilayah kita dicaplok,” kata Prabowo Subianto, salah satu kandidat Capres 2019 pada 2014 lalu (detikcom, Mei 2014). Bahkan, dalam debat calon presiden terakhir, yang digelar Minggu (17/2) lalu Prabowo Subianto sempat menyampaikan kekhawatiran jika unicorn Tanah Air dikuasai asing. Hal itu didasari oleh besarnya investasi asing ke unicorn seperti Gojek, Tokopedia, Traveloka, hingga Bukalapak.

            Saya menulis ini bukan karena bermaksud membela atau mendukung salah satu kandidat, namun ingin membuka perspektif kita tentang globalisasi yang ‘memaksa’ kita untuk bekerjasama dengan negara lain. Kedua, mempertanyakan segala kemungkinan untuk Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (MNC), dan terakhir, kemungkinan Indonesia berdiri sendiri tanpa keterlibatan asing sama sekali di era globalisasi dewasa ini.

            Apa itu globalisasi? Gelombang keterbukaan (globalisasi) ditandai dengan revolusi informasi, kian canggihnya teknologi dan jaringan Internet serta berkembangnya dan bersatu-padunya sistem keuangan dan perdagangan dunia. Era globalisasi menghadirkan sejumlah peluang dan juga tantangan atau ancaman terhadap kedaulatan sebuah bangsa. Globalisasi, yang ditandai dengan ciri adanya revolusi teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah geostrategis dunia. Dengan berbagai varian dari globalisasi dimana aktor non-negara mulai mengemuka sebagai aktor dominan selain aktor negara, yang meliputi kemampuan dan kapasitas melebihi aktor negara, sehingga ancaman terhadap keamanan nasional juga semakin rumit serta kompleks. Salah satu kekuatan bangsa Indonesia adalah sumber daya manusia—jumlah populasi atau penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta jiwa. Indonesia berada di urutan ke-4 negara dengan populasi terbesar di dunia setelah Cina (1,7 miliar jiwa), India (1,3 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (320 juta jiwa). 

            Berlebihnya sumber daya manusia Indonesia tersebut tentu membuat Indonesia berpotensi memiliki komponen cadangan yang besar bilamana menghadapi kekuatan asing. Kekuatan Indonesia lainnya adalah sumber daya alam yang melimpah ruah. Di sisi lain berlimpahnya SDM itu tidak diimbangi dengan meratanya pendidikan. Walhasil, banyak SDM yang tak terdidik dan terlatih. Hal tersebut membuat ‘harga’ SDM yang berlimpah ruah itu ‘murah’ di mata asing atau dengan kata lain ongkos tenaga kerja di Indonesia sangat murah. Sedangkan berlimpahnya Sumber Daya Alam atau SDA tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai dan merata di setiap daerah atau menjangkau daerah-daerah pelosok. Kondisi tersebut mengakibatkan masih banyaknya SDA yang belum digarap secara maksimal.

            Hal tersebut diakibatkan oleh kebijakan pemerintah di masa lalu yang tak mendukung pembangunan SDM dan SDA serta infrastruktur (seperti jalan) yang bisa menghubungkan pulau-pulau di Indonesia untuk kemudahan berusaha atau berbisnis. Hal lainnya, yang juga menjadi kelemahan atau ancaman, adalah maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia. Korupsi jelas-jelas menghambat peluang NKRI untuk maju dan berdaulat. Dalam survei Transparency International (TI), skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2015 adalah 36 dari 100, lebih besar dua poin dibanding pada 2014 (34).

Peringkat Indonesia sebagai negara paling korup pun naik 19 anak tangga, menjadi  urutan ke 88 dari 168 negara.  Ibarat kanker yang ganas, korupsi telah menggerogoti ketiga pilar demokrasi yang ada di negeri ini. Eksekutif dari tingkat pusat hingga daerah diseret ke pengadilan. Begitu pula legislatif. Anggota legislatif baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD) terduduk di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Yudikatif, juga tak ketinggalan. Jumlah hakim dan pengacara yang terjerat korupsi, juga terus bertambah. Korupsi di ruang yudikatif juga masuk di semua lembaga kehakiman. Dari hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, hingga Mahkamah Konstitusi. Bahkan sampai Pengadilan Tipikor.

            Meski begitu Indonesia masih memiliki peluang (opportunity) dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa. Saat ini, Indonesia dipandang sebagai salah satu wilayah ekonomi digital terbesar dan terpenting di kawasan Asia Tenggara. Lembaga kajian ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan, nilai perdagangan elektronik (e-commerce) Indonesia pada 2016 mencapai US$ 24,6 miliar, atau setara dengan Rp 319,8 triliun. Proyeksi nilai rupiah tersebut dengan asumsi kurs sebesar Rp 13.000 per dolar Amerika Serikat.  Namun kelemahannya dalam hal konektivitas dan tingkat penetrasi internet, Indonesia masih tertinggal dibandingkan banyak negara ASEAN lain meskipun laju pertumbuhannya termasuk yang paling tinggi di kawasan Asean.

            Indonesia akan menjadi sentra perang ekonomi antara Amerika Serikat dan Cina. Setidaknya begitu menurut situs berita teknologi dan ekonomi techinasia.com. Menurut situs tersebut, yang diunggah pada 5 November 2016, Amerika Serikat diwakili Amazon, kakek situs-situs dagang online (e-commerce), melawan Cina yang diwakili situs dagang kelas berat: Alibaba (Balea, J. The stage is set for the Amazon vs Alibaba battle in Southeast Asia, 5 November 2016). Baik Amazon maupun Alibaba sama menganggap Asia Tenggara, khususnya Indonesia, merupakan pasar yang besar dan menggiurkan dengan 600 juta konsumen di mana mayoritas berasal dari Indonesia dengan 252 juta penduduk (Data BPS 2014). Indonesia sejak dahulu kala memang selalu menjadi rebutan negara asing. Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah dan tersebar dari Sabang sampai ke Marauke ini memang menjadi magnet bagi perdagangan internasional. Sebagaimana dikatakan Presiden Sukarno bahwa kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia memang membuat iri negara-negara lain (Hikam, M. A. S, (Editor). Menyongsong 2014-2019: Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah).

            Dalam konteks dunia dewasa ini ada satu hal yang tak bisa dielakkan yakni globalisasi. Di mana seperti disebut dalam tulisan di atas globalisasi telah menciptakan sebuah fenomena baru yakni interdependensi atau saling ketergantungan antarnegara satu dengan yang lainnya. Globalisasi bukan omong kosong belaka. Ia sudah benar-benar hadir di halaman ‘rumah’ kita. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dipadu dengan jaringan peta lebar dan jaringan internet membuat batas-batas wilayah menjadi pudar. Kolonisasi tak lagi membutuhkan kekuatan senjata dan armada yang besar sebagaimana pada Abad ke-15. Pada masa itu Belanda, Inggris, Prancis, Portugis, dan Spanyol berlomba-lomba membangun armada lautnya dan militernya guna mencari negeri jajahan untuk meraup keuntungan komersial. Sejarah mencatat Indonesia mengalami masa kolonisasi Portugis (1509-1602), Belanda (1800-1942) hingga Jepang (1942-1945).

            Berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan aksi dekolonisasi pada 1947 melemahkan kekuatan militer dan ekonomi negara-negara kolonial. Kolonialisme menjadi tidak diterima dan dunia didominasi oleh Perang Dingin antara Blok Barat (Kapitalis yang diwakili Amerika Serikat) dan Blok Timur (Komunis yang diwakili Uni Soviet). Indonesia sendiri di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno pada 1955, kemudian mendirikan Gerakan Non-Blok yang menentang kolonialisme. Bila mulanya diikuti 25 negara, pada 1961 memiliki lebih dari 100 anggota. Sejak merdeka pada 1945, para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya membangun local capital guna menghindari ketergantungan pada foreign capital (Tai, Wan-Ping,  An Industry Without Industrialization: The Political Economy of The Failure of Indonesia’s Auto Industry, Journal of ASEAN Studies 2, 2014). Semangat nasionalisme adalah manifestasi kesadaran berbangsa dan bernegara (Muljana, S. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, Jilid I, LkiS 2008). Tujuan utamanya adalah mencapai kedaulatan negara yang sepenuhnya. Dengan lain perkataan Indonesia ingin mengatur negara Indonesia dengan konsepsinya sendiri.           

            Berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Blok Timur (Komunis) yang ditandai dengan bubarnya Gerakan Non-Blok kian membuat negara Adi Daya (Great Power of Imperialism) yang diwakili Amerika Serikat kembali ‘meruntuhkan’ impian negara-negara bekas jajahan (Negara Berkembang  atau Dunia Ketiga) untuk berdaulat secara ekonomi. Negara-negara ini khawatir pembangunan ekonomi dan teknologi bakal mempengaruhi tatanan sosial, budaya, politik di dalam negeri. Demokrasi dan modernisasi pun menjadi kata kunci sembari menawarkan pembangunan ekonomi dan perdamaian.

            Dalam konteks ini Prabowo tak berlebihan jika ia khawatir Indonesia akan jatuh ke tangan asing. Sebagaimana diungkap Profesor Dani Rodrik, Guru Besar Ekonomi Politik Internasional di Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy, pandangan itu menunjukkan bahwa hingga detik ini globalisasi belum sepenuhnya bisa diterima di semua negara, bahkan di negara maju dan hegemon seperti Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan kelompok yang diuntungkan dalam globalisasi digerakkan oleh kepentingan pribadi atau perusahaan.  Namun, hemat saya, ketakutan Prabowo sangat berlebihan. Sebab, ibarat dua sisi mata uang, globalisasi merupakan peluang sekaligus tantangan. Peluang karena globalisasi di satu sisi memberikan harapan bagi tumbuh dan berkembangnya suatu negara untuk menjadi apa yang oleh founding fathers kita harapkan: memberikan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.

            Sejatinya, Indonesia masih memiliki peluang (opportunity) yakni keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap teknologi. Disinilah pentingnya pemerintah membangun infrastuktur dalam hal teknologi. Diimbangi dengan memperkuat kemampuan dan memberdayakan sumber daya manusia Indonesia. Sehingga ke depan ‘harga’ SDM yang berlimpah ruah itu tak lagi dianggap ‘murah’ di mata asing.

            Bila mulanya dunia memadang Cina sebagaimana memandang Indonesia, hanya sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen (penduduk) sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia, maka di kemudian hari Cina mampu pula berdiri sebagai basis produksi pelbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. Cina pada awal abad ke-21 ini boleh jadi serupa dengan Inggris seperti pada abad ke-19. Bahkan dewasa ini Cina juga mampu membuktikan kompetitif dalam pelbagai industri berteknologi maju. Hal tersebut ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan teknologi seperti Apple, IBM, Sharp, Microsoft, Google, dan Samsung yang merakit produknya di Cina. Apakah ini bisa diartikan Cina ‘dijajah’ oleh asing?

            Bangkitnya Cina bukan tanpa sebab. Menyadari potensi Sumber Daya Manusia-nya yang mencapai nyaris 2 miliar (populasi penduduk Cina), Tiongkok menerapkan sejumlah kebijakan di dalam negeri. Antara lain melakukan reformasi di sektor pendidikan, meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperbaiki layanan kesehatan, dan memberikan alokasi dana. Di saat bersamaan Cina juga melakukan reformasi di sektor industri, antara lain dengan memberikan dukungan dana dan investasi, membangun infrastruktur yang mendukung sektor industri, melakukan reformasi di sektor industri dari sisi manajemen dan teknis, serta menetapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung sektor industri, dan mengontrol serta terus memperbaiki reformasi sektor industri yang sedang dijalankan. Memikirkan upaya untuk bangkit, menurut saya, jauh lebih penting ketimbang terbelenggu dalam pikiran bahwa asing akan makin menguasai Indonesia.

            Satu hal yang perlu diingat, Bagaimanapun kuatnya upaya asing untuk memecah belah atau menguasai Indonesia, sulit rasanya terwujud bila ketahanan nasional Indonesia kuat dan tangguh. Sebaliknya, bagaimana Indonesia bisa menjadi the next rising power in Asia bilamana secara domestik lemah.

A. Priyanto

Direktur Eksekutif MSIResearch, alumnus Kajian Ketahanan Nasional UI