PENDAHULUAN
RUU Omnibus Law Cipta Kerja sampai saat ini masih menjadi sebuah topik perdebatan yang tidak kunjung selesai. Pro dan kontra terhadap keberadaan RUU omnibus law Cipta Kerja telah membawa para pemangku kepentingan kedalam suatu proses perdebatan. Diharapkan hasil kesepakatan yang muncul dalam perdebatan tersebut mampu membawa RUU omnibuslaw Cipta Kerja kedalam suatu tahap hasil akhir yang ideal, sehingga semua kepentingan dapat diakomodir berdasarkan keadilan sosial serta kemanusiaan yang adil dan beradab.
Peneliti melalui kajian ini ingin melihat suatu sudut pandang yang belum terlalu diperhatikan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sudut pandang yang mengkaji RUU Omnibus Law melalui keterkaitannya dengan mineral dan batu bara (minerba) serta dampak RUU tersebut terhadap lingkungan hidup. Melalui sudut pandang ini, Peneliti berharap dapat memperkaya pengetahuan yang akan dimiliki oleh para pemangku kepentingan didalam proses diskusi untuk menghasilkan sebuah kesepakatan.
Tujuan dari suatu produk Omnibus law dibuat adalah sebagai strategi reformasi regulasi agar penataan dilakukan secara sekaligus terhadap banyak peraturan perundang-undangan dengan tujuan menghilangkan tumpang tindih antar UU, efisiensi proses perubahan atau pencabutan UU hingga menghilangkan ego sektoral menjadi sekian banyak sisi positif omnibus law. Setidaknya untuk tujuan tersebut pemerintah telah merencanakan omnibus law terhadap 3 (tiga) rancangan undang-undang (RUU) yaitu RUU cipta lapangan kerja, RUU ketentuan umum dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian dan RUU ibu kota baru.
Terkait dengan investasi pertambangan, tujuan utama diciptakan RUU ini adalah untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahannya. Pemerintah merasa perlu disusun suatu peraturan perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara.
PEMBAHASAN
A. RUMUSAN MASALAH RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
Peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dapat dijadikan acuan untuk menemukan rumusan masalah dalam kajian RUU Omnibus Law Cipta Kerja terkait minerba dan lingkungan hidup. Permasalahan tersebut diantaranya pemangkasan pungutan pajak dan royalti, luas konsensi tambang, pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan serta masa kegiatan usaha pertambangan. Dari permasalahan-permasalahan tersebut, Peneliti merangkumnya menjadi dua buah rumusan masalah, yaitu ancaman kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja serta ancaman kerugian dalam bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat implementasi RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
I. Pungutan Pajak & Royalti
Terkait dengan permasalahan pajak dan royalti, hal ini masuk dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja guna merevisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 pasal 128 A. Pasal ini merupakan pasal sisipan di antara pasal 128 dan 129. Berikut adalah kutipan pasal 128A:
(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembebasan royalti tersebut rencananya akan diberikan pada perusahaan tambang batu bara yang melakukan hilirisasi, seperti mengolah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) alias gasifikasi batubara. DME dapat menggantikan LPG yang selama ini masih diimpor. Selain pengurangan royalti hingga 0%, pemerintah juga memberikan fasilitasi dalam bentuk harga khusus batu bara untuk proyek gasifikasi. Harga yang disepakati akan diberikan antara USD 20 hingga USD 21 per ton. Salah perusahaan BUMN yang sanggup dan tengah memulai gasifikasi batu bara adalah PT Bukit Asam Tbk (Persero) yang menjajaki produksinya bersama PT Pertamina (Persero). Jika kerjasama ini sudah berjalan maka Pertamina tak perlu impor LPG lagi.
II. Luas Konsensi Tambang
Salah satu perubahan yang diajukan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah tak ada lagi batas luas wilayah produksi mineral dan batu bara (minerba). Perubahan aturan luas wilayah produksi itu tertuang dalam Pasal 83 huruf c RUU Cipta Kerja. Dalam pasal tersebut luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk tahap kegiatan operasi produksi minerba diberikan dari hasil evaluasi oleh pemerintah.
Beleid ini merevisi Pasal 83 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Sebelumnya luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam dibatasi sampai 25 ribu hektare. Sedangkan batas luas wilayah produksi batu bara seluas 15 ribu hektar.
III. Perizinan & Pengawasan Usaha Tambang
RUU Omnibus Law Cipta Kerja berencana merubah sistem pemberian izin dan sistem pengawasan yang berlaku pada saat ini dalam usaha pertambangan. Pemberian izin serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah akan dirubah hanya menjadi wewenang pemerintah pusat saja. Kewenangan pemberian izin IUP akan ditarik ke pemerintah pusat di bawah kekuasaan Presiden.
Wacana sentralisasi perizinan ini dapat ditelisik dari dihapuskannya Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 37 dalam UU Minerba. Pasal 7 UU Minerba menerangkan tentang kewenangan pemerintah provinsi (pemprov) dalam pengelolaan pertambangan minerba. Pasal 8 mengatur tentang kewenangan pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot) dalam pengelolaan pertambangan minerba. Sedangkan Pasal 37 mengatur pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dalam Pasal 37 UU Minerba, IUP diberikan oleh: (a) bupati/walikota apabila Wilayah IUP (WIUP) berada dalam satu wilayah kabupaten/kota; (b) gubernur apabila WIUP berada dalam lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat; dan (c) menteri, apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat.
IV. Masa Usaha Tambang
Dalam Pasal 47 UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
Jika RUU Omnibus Law Cipta Kerja berhasil disahkan, maka akan terjadi perubahan dalam Pasal 47 yang berupa perubahan jangka waktu perizinan usaha pertambangan. Disebutkan dalam draff perubahan tersebut bahwa operasi pertambangan mineral dan batubara yang menambang dan terintegrasi dengan pengolahan maupun pemurnian bisa memperpanjang sampai dengan umur tambang. Selain itu, perusahaan tambang yang mengolah dan melakukan tahap pemurnian akan dibebaskan dari kewajiban Domestic Market Obligations (DMO).
B. REVISI UU NO.4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERBA
I. Penjelasan Umum UU No.4 2009 Tentang Minerba
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional.
Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara.
Pertambangan Mineral dan Pertambangan Batubara diatur dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kekayaan alam berupa mineral dan batubaran adalah kekayaan yang tak terbarukan, memiliki nilai yang luar biasa tinggi, dan diperlukan oleh orang banyak. UU 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mendefinisikan Pertambangan Mineral sebagai pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Sedangkan Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Tujuan pengelolaan Mineral dan Batubara oleh negara adalah:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;
b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
II. Revisi UU. No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba
Revisi Undang-undang No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) masuk program legislasi nasional sejak 2015 dan dimasukkan kembali pada tahun 2019. Revisi UU ini mula-mula muncul untuk penyesuaian dengan perubahan regulasi terkait, seperti UU Pemerintah Daerah, UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Keuangan dan Penerimaan Negara, UU Tata Ruang, Kelautan dan Sistem Zonasi dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Selain untuk merespon situasi dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan UU Minerba, seperti implementasi pelaksanaan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah, perubahan sistem kontrak ke perizinan serta desentralisasi. Revisi ini juga untuk merespon rekomendasi perbaikan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kementerian ESDM. Revisi ini seakan akan menjadi sebuah evaluasi terhadap UU Minerba itu sendiri setelah 10 tahun berjalan.
Pada bulan februari 2020, Pemerintah dan Komisi VII DPR RI resmi menyepakati Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan pembentukan Panitia Kerja (Panja) dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba. Sebelumnya pemerintah juga telah menyerahkan rancangan UU omnibus law Cipta Kerja yang di dalamnya juga memuat substansi perubahan regulasi di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). UU Minerba juga termasuk dalam perubahan regulasi yang dipayungi omnibus law tersebut.
Ketua Komisi VII DPR RI memastikan bahwa pembahasan revisi UU Minerba dan UU omnibus law cipta kerja akan berjalan secara simultan dan paralel. Dengan begitu substansi dan pasal-pasal yang tertuang dalam kedua regulasi tersebut tidak akan saling bertentangan dan tidak tumpang-tindih, karena akan ada proses sinkronisasi antara RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan Revisi UU Minerba. Selain itu, hierarki omnibus law lebih tinggi dibanding UU Minerba, sehingga substansi atau pasal yang sudah dibahas di omnibus law tidak akan dibahas ulang dalam revisi UU Minerba. Pasal-pasal yang sudah tercantum di omnibus law tidak akan diatur di UU Minerba.
Substansi perubahan Revisi UU Minerba akan dibahas dalam Panja yang dibentuk antara Pemerintah dan Komisi VII DPR RI, sedangkan substansi perubahan pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan dibahas di level Badan Legislasi (Baleg) atau dalam bentuk Pantian Khusus (Pansus) yang keduanya terdiri dari lintas Komisi di DPR RI. Dengan pembahasan yang simultan, Panja Komisi VII yang membahas Revisi UU Minerba tidak perlu terlebih dulu menunggu pengesahan omnibus law, sebab proses pengerjaan keduanya telah disinkronisasi terlebih dahulu.
C. DAMPAK RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah Peneliti susun sebelumnya, maka kami telah berhasil mengidentifikasi dampak yang telah diberikan dalam pengajuan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terkait Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Kami telah mengidentifikasi ancaman yang muncul terhadap ketahanan nasional dibidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup.
I. DAMPAK EKONOMI
Sumber ancaman kerugian ekonomi yang Peneliti dapat identifikasi dari RUU Cipta Kerja tersebut diantaranya terdapat dalam Pasal 102 yang menyatakan perusahaan tambang wajib melakukan hilirisasi jika ingin melakukan eksport. Hilirisasi juga memberikan keuntungan terhadap pengusaha tambang dalam bentuk pemotongan pajak, pengenaan royalti 0%, dibebaskannya pengusaha tambang dari Domestic Market Obligation (DMO) serta perpanjangan kegiatan usaha tiap 10 tahun hingga seumur tambang.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law Pasal 128A disebutkan pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah minerba dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Secara khusus untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
Terkait dengan hal ini, Pemerintah Daerah berpotensi kehilangan dana bagi hasil (DBH) yang selama ini mereka terima. Sebab bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi akan mendapatka fasilitas royaltinya 0%, hal ini akan berdampak DBH nol ke Pemda, padahal DBH merupakan penghasilan daerah yang sangat penting untuk daerah.
Terkait perpanjangan kegiatan usaha hingga seumur tambang juga terdapat dalam pasal 47 yang menyebutkan bahwa pengusaha tambang mineral dan batubara bisa mendapat izin seumur hidup jika mau melakukan penghiliran. Perpanjangan kegiatan usaha ini menimbulkan ancaman terkait berkurangnya potensi pendapatan serta ancaman kerugian akibat kerusakan pada lingkungan. Dalam hal potensi pendapatan, pasal ini telah menimbulkan hilangnya pendapatan negara sebab peraturan yang berlaku saat ini menyatakan bahwa setelah berakhirnya masa berlaku suatu kontrak yang dimiliki oleh swasta, maka pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak.
Seluruh wilayak kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola oleh kontraktor harus dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh atas wilayah kerja (WK) tambang yang kemudian statusnya berubah menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Guna menjamin ketahanan energi nasional, maka pengelolaan atas Wilayah Pencadangan Negara (WPN) tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
II. DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Sedangkan sumber ancaman kerugian dalam bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat implementasi RUU Cipta Kerja, Peneliti dapat mengidentifikasinya dalam pasal 35 dan 128 terkait pemberian izin langsung dari pemerintah pusat tanpa harus menyertakan pemerintah daerah. Pasal-pasal tersebut mempunyai potensi kegagalan dalam hal pengawasan oleh pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan, mengingat jumlah izin usaha pertambangan yang sangat banyak untuk diawasi.
Dalam pengawasan, Pemerintah tidak bisa memastikan volume produksi tambang yang dimuat oleh setiap perusahaan. Selain itu, segala bentuk pengawasan masih dilakukan berdasarkan laporan administratif dan tinjauan lapangan seadanya. Contoh kasus seperti batuan andesit, pemerintah tidak bisa melakukan monitoring dalam bentuk pengamatan & penggambaran (matbar) secara langsung dilokasi pertambangan guna mengetahui berapa volume yang dimuat. Guna memperoleh data terkait pemerintah masih andalkan sistem yang bersifat administratif, semisal laporan perusahaan tambang dan volume tergali tidak diukur secara mendetail. Pemerintah membutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan pengawasan.
Lemahnya pengawasan juga disebabkan oleh minimnya sumber daya manusia baik dari sisi jumlah maupun kualitas. jumlah ideal inspektur tambang (petugas pengawas) untuk sekitar 5.000 hingga 6.000 perusahaan tambang adalah sekitar 1.000 inspektur tambang. Namun dalam kenyataannya jumlah tersebut sulit dicapai. Hal ini dapat dilihat dari kasus Provinsi Banten, tercatat hanya ada dua inspektur tambang untuk mengawasi sekitar 200 perusahaan tambang di propinsi tersebut.
Selain itu nilai kerugian dalam bentuk kerusakan lingkungan hidup pada tahun 2018 yang menunjukkan nilai cukup signifikan, yaitu sebesar Rp. 185 Triliun, juga patut menjadi dasar keraguan akan pengawasan tunggal yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat akan berhasil. Melalui sistem pengawasan berlapis dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, nilai kerugian akibat kerusakan lingkungan sudah menunjukkan nilai yang signifikan, apalagi jika pengawasan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja. Maka besar kemungkinan kerugian negara akan bertambah. Terkait dengan pasal 47 yang menyebutkan bahwa pengusaha tambang mineral dan batubara bisa mendapat izin seumur hidup jika mau melakukan penghiliran, maka ancaman yang muncul terhadap lingkungan hidup diakibatkan oleh tingginya biaya guna infrastruktur hilirisasi. Selain itu, eksploitasi besar-besaran hanya akan membuat sumber daya mineral di Indonesia akan cepat habis. Hal ini lebih lanjut akan mengancam ketahanan energi negara kita.
Dari kedua identifikasi ancaman tersebut, baik ancaman terhadap pendapatan negara dari Minerba serta ancaman kerugian negara yang ditimbulkan dari kerusakan sumber daya alam, maka Peneliti melihat bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja terkait investasi Minerba sangat jauh dari sempurna dan cenderung membahayakan ketahanan nasional. Peningkatan investasi yang diharapkan akan linier dengan bertambahnya nilai kerugian akibat berkurangnya potensi pendapatan negara dan kerusakan sumber daya alam.
D. SOLUSI PERMASALAHAN
Saran yang Peneliti dapat berikan jika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan negara dari sumber Minerba, maka sebaiknya pemerintah lebih fokus memperbaiki kebijakan non fiskal maupun fiskal. Salah satu sumber utama permasalahan dalam usaha minerba adalah sistem birokrasi yang sangat berbelit-belit serta pengawasan yang tidak berjalan dengan semestinya. Penyederhanaan birokrasi sebenarnya dapat dicapai tanpa harus mengorbankan pengawasan. Pemerintah seharusnya mempermudah sistem birokrasi dan memperketat sistem pengawasan, bukan sebaliknya memperketat sistem birokrasi dan mempermudah sistem pengawasan.
Sistem perizinan yang mudah dan transparan dapat diimplementasikan tanpa harus menimbulkan potensi resiko kerugian dimasa depan. Guna mencapai penyederhanan birokrasi tersebut, pemerintah pusat dan daerah sebaiknya secara bersama-sama membuat suatu sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang mengurus semua birokarasi terkait kegiatan usaha Minerba. Hal ini realistis untuk diterapkan mengingat digitalisasi dan terintegrasinya data base yang dimiliki oleh pemerintah pada saat ini.
Selain itu, sistem pengawasan yang ada sebaiknya diperketat dan bukan malah dipermudah. Sistem pengawasan berlapis pada saat ini yang berwujud pengawasan dari pemerintah pusat dan daerah jangan diganti dengan sistem pengawasan tunggal oleh pemerintah pusat. Justru pelibatan civil society serta lembaga audit publik menjadi solusi tepat guna mencapai akuntabilitas kegiatan usaha Minerba. Pelibatan civil society seperti dewan adat, pers maupun lembaga swadaya masyarakat lokal maupun nasional sangat penting nilainya guna menciptakan transparansi terhadap kegiatan usaha pertambangan. Pengawasan bukan hanya dilakukan terhadap perusahaan pertambangan saja, akan tetapi juga terhadap lembaga pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi (tusi) pemberian izin usaha maupun yang mempunyai tusi untuk mengawasi kegiatan pertambangan. Oleh karena itu pelibatan lembaga anti rasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat diperlukan.
Terkait kebijakan fiskal yang tertera dalam Pasal 102, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan ulang. Sebab permasalahan utama bukan pada daya tarik pengusaha Minerba untuk berusaha di Indonesia, akan tetapi proses birokrasi dan pengawasan yang tidak transparan dan akuntabel. Tanpa memberikan fasilitas pajak seperti tax holiday dan tax allowance, sebenarnya minat investor sudah cukup tinggi untuk melakukan kegiatan usaha.
Pemerintah juga perlu mengkaji ulang terkait dibebaskannya pengusaha tambang dari Domestic Market Obligation (DMO) jika melakukan hilirisasi. Hal ini dikarenakan kontra produktif dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2020-2024 dan RPJP 2005-2025. Dalam kedua naskah tersebut, disebutkan bahwa produksi batubara akan ditingkatkan guna keperluan nasional. Hal ini terkait ketahanan nasional dibidang energi, mengingat batubara merupakan bahan baku utama Pembangkit Listri Tenaga Uap (PLTU).
Tidak hanya DMO saja yang menimbulkan fenomena kontra produktif. Dalam pasal 47 yang menyebutkan bahwa pengusaha tambang minerba bisa mendapat izin seumur hidup jika mau melakukan penghiliran, maka hal ini kontra produktif dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan Sumber Daya alam (SDA) dikuasai oleh negara, dan sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pengelolaannya harus dijalankan oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D).
Pemerintah seharusnya memberikan karpet merah kepada BUMN/D dan bukan kepada pengusaha swasta. Jika memang kinerja dan integritas BUMN/D menjadi suatu permasalahan, maka sebaiknya dibenahi dan bukan dijadikan alasan untuk membuat suatu kebijakan yang kontra produktif dengan konstitusi. Kinerja BUMN/D bisa dibenahi mulai dari People, Process dan technology sehingga menjadi entitas bisnis yang profesional. Sedangkan dari integritasnya BUMN/D memungkinkan untuk dibenahi sisi budaya organisasinya, sehingga transparansi dan akuntabilitas menjadi dasar dalam membangun budaya organisasi. Bentuk entitas bisnis BUMN/D yang hibrid memerlukan sistem pengawasan yang khusus agar kepercayaan publik tercapai. Pengawasan tripartit, mulai dari pemerintah, lembaga auditor profesional hingga masyarakat perlu diciptakan sehingga trust tercapai.
KESIMPULAN
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
Melalui kajian ini, Peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja menimbulkan potensi ancaman bagi negara dalam bentuk ancaman ekonomi maupaun ancaman kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian ulang sehingga potensi investasi yang akan didapat melalui RUU Cipta Kerja tidak linier dengan ancaman yang dihasilkan.
Peneliti sadar, sebenarnya masih banyak hal-hal yang dapat diidentifikasi sebagai ancaman terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kedalaman analisa-pun masih bisa gali lebih lagi. Akan tetapi keterbatasan waktu dan sumber daya merupakan alibi mendasar yang bisa dijadikan suatu alasan. Peneliti berharap melalui tulisan ini para pemangku kepentingan mendapatkan sisi lain agar pengetahuan yang mereka miliki menjadi komprehensif, holistik dan integral didalam memandang RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sehingga salah satu amanah UUD 1945 dapat tercapai, yaitu memajukan kesejahteraan umum.
Yudha Fernando,SE.,M.Si.,M.Kom.,CEH.,ECIH
-Dosen Kajian Ketahanan Nasional UI-
MOST COMMENT