Budaya damai tak hanya mengurangi agresi dan kekerasan tetapi juga mempertahankan hubungan sosial yang damai. Mampukah Barat mendamaikan kedua musuh bebuyutan itu?
Ahad pekan kemarin Iran menggempur Israel dengan 170 drone, 30 rudal jelajah, dan 110 rudal balistik. Peristiwa ini merupakan babak baru dari permusuhan antara Iran dan Israel selama bertahun-tahun. Perselisihan berdarah yang fluktuasi intensitasnya bergantung pada peristiwa geopolitik.
Pemerintah Iran mengatakan bahwa serangan itu merupakan jawaban atas serangan Israel ke kantor konsulat Iran di Suriah yang menewaskan tujuh perwira termasuk dua jenderal Garda Revolusi pada 1 April lalu. Selepas melancarkan serangan ke Israel, Teheran mengatakan masalah serangan ke kantor konsulatnya telah usai.
Sebagian besar drone dan rudal yang ditembakan Iran itu berhasil dihalau dan tidak menimbulkan korban jiwa dan hanya sedikit kerusakan materi. Namun Israel mengatakan mereka harus membalasnya untuk menjaga kredibilitas pertahanannya. Aksi balas membalas yang tak kunjung padam. Aksi dan agresi yang berkelanjutan.
Berpikir tentang agresi dan kekerasan kerap kali mengingatkan kita pada insiden pribadi, trauma seorang teman, insiden komunitas, atau berita terbaru sebagaimana serangan Iran ke Israel atau Israel ke Gaza, yang menewaskan lebih dari 20 ribu korban jiwa perempuan dan anak-anak (BBC, Maret 2024).
Kendati agresi belum tentu menimbulkan kekerasan dan kekerasan dapat timbul tanpa agresi, sebagaimana bencana alam, namun agresi dan kekerasan sangatlah identik. Secara populer agresi bisa dirancukan dengan tekad kuat mengejar tujuan seseorang dengan semangat dan berani.
Adapun definisi psikologis agresi amatlah jelas bahwa adalah perilaku negatif: semua bentuk perilaku yang ditujukan untuk merugikan atau melukai makhluk hidup lain yang berniat menghindari perlakuan itu (Baron, Human Aggression, 1977). Bahkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memiliki definisi tersendiri terkait agresi:
”Agresi merupakan kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, kekerasan interpersonal, atau kekerasan kolektif yang lebih luas lagi lingkupnya, dan menjelaskan akar-akar biologi, sosial, budaya, dan politik serta perwujudannya.”
– World Report on Violence and Health, WHO 2002
Definisi di atas menjawab musabab permusuhan Iran dan Israel yang merupakan salah satu sumber ketidakstabilan di Timur Tengah. Bagi Teheran, Israel tak punya hak untuk hidup. Para penguasa Iran menganggap Israel sebagai “setan kecil” sekaligus sekutu Amerika Serikat yang mereka sebut sebagai “setan besar”.
Iran ingin keduanya menghilang dari Timur Tengah. Di lain pihak, Israel menuduh Iran mendanai kelompok “teroris” dan melakukan serangan terhadap kepentingannya yang dimotivasi oleh sikap anti-Yahudi dari para ayatollah. Persaingan antara dua “musuh bebuyutan” ini telah menimbulkan banyak korban jiwa.
Penggunaan istlah ’setan kecil’ atau ’setan besar’ juga penggunaan label ’zionis’ atau ’teroris’ menunjukkan bagaimana kekerasan tak hanya memiliki efek langsung, tetapi bagaimana ia terus menyebar dan mempengaruhi individu, lembaga, kota, dan bangsa.
Akar penyebabnya beragam. Tidak hanya urusan biologis, kognitif, motivasi, dan moral, tetapi juga sistemik. Isu-isu politik, ekonomi, hukum, dan sosial seperti kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, penindasan politik, dan beban hidup menimbulkan agresi dan kekerasan.
Oleh karena ekspresi dan intensitas agresi dan kekerasan tak terlepas dari konteks sosial maka inisiatif seperti kontrol senjata, pembatasan kekerasan di media massa maupun media sosial serta upaya untuk melakukan proses resolusi konflik yang kooperatif bisa mengurangi intensitas dan menyebarnya aksi-aksi kekerasan.
Kendati agresi dan kekerasan mempengaruhi semua kelas sosial, orang-orang dengan status sosial ekonomi yang rendah berada pada risiko tertinggi. Pencegahan dan perlindungan harus tersedia bagi mereka bila kekerasan akan dicegah. Budaya damai tak hanya mengurangi agresi dan kekerasan tetapi juga mempertahankan hubungan sosial yang damai.
H. A. Priyanto, Direktur Eksekutif MSI Research
MOST COMMENT