Ketika mendengar kata sufi, dalam benak seseorang pasti tergambar sosok manusia berjubah dengan jenggot rapi, yang sehari-hari duduk bersila sambil memutar tasbih, berpenampilan khumul, pendiam, kurang bergaul, alergi dengan perubahan zaman bahkan anti kekuasaan. Benarkah?
Gambaran ini bisa dimaklumi karena memang genealogi lahirnya laku kesufian berawal dari potret seperti itu. Yang dulu dikenal dengan sebutan ahlu al-suffah yakni orang-orang yang tinggal di teras Rasulullah Saw yang hidupnya hanya diabdikan kepada Allah Swt. Padahal, ciri di atas itu hanya penampilan luar saja. Sementara hakikat dari kesufian adalah kondisi batiniyyah. Artinya, seorang sufi itu adalah orang yang berusaha semaksimal mungkin memoles hatinya agar bersih dari noda-noda penyakit hati, sehingga dengan cepat makrifat kepada Tuhannya. Serta mereka yang mempunyai laku sebagaimana lakunya tokoh sentral yakni Rasulullah Saw.
Lain dulu lain sekarang. Waktu terus berjalan, zaman berubah, perubahan ini juga sangat mempengaruhi perilaku, sikap dan cara pandang seseorang. Hal ini juga yang seharusnya dilakukan oleh para sufi. Sehingga ada paradigma baru dalam tasawuf. Sufi di era digital seperti sekarang ini harus tampil di tengah-tengah masyarakat dengan elegan.
Kalau zaman dulu zuhud artinya anti dunia, seorang zahid hanya dimiliki oleh ulama’ dan orang-orang faqir. Sekarang zuhud harus diartikan anti keserakahan. Jadi pemimpin yang zuhud adalah pemimpin yang tidak serakah, pengusaha yang zuhud adalah pengusaha yang tidak serakah, pedagang yang zuhud adalah pedagang yang tidak memanipulasi pasar dan bisnis serta jujur dalam perdagangannya.
Hakim yang adil dan bijaksana dialah seorang sufi. Buruh kasar biasa yang sabar dialah sufi. Karyawan yang bekerja dengan tekun penuh dedikasi yang tinggi dialah sufi. Pegawai yang jujur dialah sufi. Jika hal ini yang menjadi wacana dalam tasawuf, maka kehadiran tasawuf menjadi penting di tengah-tengah masyarakat modern seperti sekarang ini.
Jadi di era digital ini, bertasawuf itu tidak meninggalkan dunia sama sekali. Mengingat dunia adalah sarana beramal soleh, bekerja untuk dunia, bersosial, ikut serta menjaga alam semesta dan pelestarian alam. Itu semua menjadi bekal kelak di akhirat. Justru muslim yang kaya bisa zuhud dengan dunianya. Yakni menggunakan dunia untuk menolong orang lain. Orang kaya seperti ini justru lebih baik daripada orang faqir yang tamak. Kalau boleh meminjam istilah Quraish Shihab “dunia ini harus kita tundukkan” artinya dengan manusia menguasai dunia, menunjukkan bahwa derajat manusia lebih tinggi daripada dunia. Jangan sampai manusia dihinakan dengan ditundukkan oleh dunia.
Senada dengan di atas, Hamka menyatakan bahwa mencintai dunia yang nista ini jika kecintaannya tidak proporsional. Jika proporsional maka dunia menjadi wasilah pendekatan hamba kepada Tuhan. Selain itu, menjadi sufi di era digital ini yaitu tidak memisahkan diri di tengah masyarakat. Seorang sufi harus hadir di tengah-tengah umat, baik menjadi pengayom atau menjadi masyarakat biasa. Sehingga sufi harus aktif, kreatif dan inovatif. Jangan lagi pasif, isolatif, dan statis. Maka kehadiran sufi akan menciptakan masyarakat yang humanis, religius, dan moderat.
Berikutnya, menjadi sufi di era digital itu harus mempunyai wawasan luas ke depan yang bersifat dinamis dan maju. Sufi itu tidak boleh malas, pesimis, pasrah total, dan terbelakang. Sufi harus mempunyai ide yang visioner yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Maka dengan kapasitas yang dimiliki sufi bisa masuk ke ranah apapun. Misalkan ke ranah politik, pendidikan, dan ranah publik lainnya. Sehingga kehadiran sufi dirasakan oleh masyarakat.
Yang terakhir sufi di era digital ini harus menjadi contoh mencintai tanah air. Dengan mencintai tanah air akan tercipta keseimbangan hidup di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tercipta ketentraman, kedamaian, keamanan yang pada akhirnya akan melahirkan rasa syukur yang mendalam karena kegiatan spiritual dan aksi sosial bisa berjalan lancar.
MOST COMMENT