Beberapa bulan belakangan ini Indonesia diramaikan dengan berita terancam runtuhnya kerukunan beragama dan tuduhan rencana makar. Gonjang-ganjing itu datang menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak pada 2018 dan Pemilihan Presiden pada 2019. Diawali dengan tuduhan penistaan agama yang disangkakan kepada Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (Sofwan. 2016). Isu ini menjadi viral bermula ketika Ahok memberikan pidato di Kepulauan Seribu dan pidato sambutan yang seharusnya sangat birokratis dan protokoler tersebut mendadak berubah menjadi pidato politik (BBC Indonesia. 2016). Pidato tersebut direkam oleh Humas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan kemudian diunggah di kanal Youtube milik humas Pemprov DKI. Adalah seorang dosen dan aktivis, Buni Yani yang kemudian memotong dan meng-upload dari potongan video kunjungan Ahok ke Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu yang dikutip di bagian tengah, terutama kalimat “dibohongi pakai Al Maidah 51” (BBC Indonesia. 2016). Video ini mulai naik di social media dan viral melalui platform twitter sebelum direproduksi berulangkali melalui platform-platform media sosial yang lain pada 4 Oktober 2016, dan dilaporkan ke polisi pada 6 Oktober 2016 (Firmansyah. 2016).  Pelapornya adalah Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Novel Chaidir Hasan dengan Nomor Laporan Pol/ 705/X/2016 di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

Kasus ini lalu dikapitalisasi secara besar-besaran dengan aksi massa yang dilakukan di berbagai kota. Puncaknya pada Jumat 4 November 2016. Di mana sebanyak 50.000 hingga 200.000 orang menggelar unjuk rasa bertajuk ‘Aksi Bela Al-Quran’ atau ‘Aksi Damai 4 November’ di pusat kota dan Istana Negara. Belum cukup sampai disitu, para aktivis Forum Umat Islam, yang dimotori Front Pembela Islam atau FPI, berencana menggelar aksi pada 25 November, dan dilanjutkan pada 2 Desember 2016. Isu bakal terjadinya makar berembus menjelang rencana demonstrasi 2 Desember 2016. Hal itu disampaikan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. Dia mengatakan indikasi rencana makar itu bisa dibaca melalui mesin pencari Google (Amirullah. 2016).

MUSUH DALAM SELIMUT

The strength of a nation derives from the integrity of the home

—  Confucius

Pertanyaannya, masihkah relasi antaretnis dan agama menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia yang sudah merdeka selama 72 tahun? Dan, bahkan sebagaimana dikemukakan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menjurus pada upaya makar? Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan Jenderal (Purn.) Agus Widjojo mengatakan dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang demikian kompleks dewasa ini, ada beberapa isu yang mengindikasikan munculnya potensi persoalan yang dapat memicu keretakan persatuan dan kesatuan bangsa dan mempengaruhi kondisi ketahanan nasional. Terlebih, berdasarkan potret pengukuran yang dilakukan Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lemhanas per Oktober 2016, menghasilkan bahwa kondisi ketahanan nasional Indonesia berada pada indeks kurang tangguh dengan skor 2,60 (Sukoyo. 2016). Ketahanan nasional disebut rawan jika kondisi dinamis berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dalam kondisi ini, ancaman sekecil apapun akan membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan. Kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan, dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas, serta kelangsungan hidup bangsa dan negara (Monteiro. 2015). Di era globalisasi dewasa ini negara indonesia banyak sekali memiliki tantangan untuk tetap menjaga ketahanan nasional. Sebagaimana dikatakan Prof. Adrianus Meliala beberapa tantangan yang datang dari dalam antara lain, kian meningkatnya rivalitas antara TNI dan Polri yang berakibat kontraproduktif dalam menjaga keutuhan NKRI. Hal itu ditandai dengan tak adanya kejelasan pola kerja dan koordinasi di antara lembaga pertahanan dan keamanan, seperti TNI, POLRI, BIN, BNPT serta berbagai instansi yang terkait. Kedua, semangat profesionalisme yang belum terbangun sepenuhnya di lembaga pertahanan dan keamanan, sehingga masih sering terjadi penyelewengan dan memperluas gerak kejahatan yang ada, ditandai dengan masih tingginya angka korupsi di kalangan kepolisian dan koleganya di kalangan kejaksaan, kehakiman, dan sipir penjara. Ketiga, Masih banyaknya gesekan di antara masyarakat yang disebabkan oleh isu-isu SARA, Keempat, gerakan separatisme di pelbagai daerah yang masih mengintai dan mengancam NKRI. Kelima, masih adanya jaringan terorisme yang beroperasi di Indonesia dan masih menjadi ancaman yang nyata. Keenam, masih banyaknya organisasi-organisasi paramiliter yang bahkan secara terang-terangan berani menantang aparat negara dan mengancam sesama warga sipil. Ketujuh, istilah penggunaan kekuatan minimum yang membingungkan TNI (Meliala. 2016).

Masalah internal yang belum tuntas ini ditambah lagi dengan segudang permasalah lainnya yang hadir di tengah-tengah gelombang keterbukaan (globalisasi) yang ditandai dengan revolusi informasi, kian canggihnya teknologi dan jaringan Internet serta berkembangnya dan bersatu-padunya sistem keuangan dan perdagangan dunia (Obama. 2010). Ancaman itu antara lain, bencana alam, kejahatan narkotika, terorisme dan radikalisme, migrasi internasional, korupsi dan pencucian uang, kohesi sosial, konflik, dan ujaran kebencian, serta kejahatan terorganisir, kelangkaan pangan dan sumber daya alam, serta masih banyak lagi (Meliala. 2016). Tak saja melibatkan aktor-aktor negara tapi juga aktor non-negara dan melintasi batas-batas negara. Plus empat jenis potensi konflik seperti perang proxy antarnegara besar, konflik mencari aturan main dan fora internasional, konflik di wilayah perbatasan, dan perebutan sumber daya alam (Hikam. 2014).

Lemhanas sendiri berpendapat bahwa isu ideologi radikal dan SARA masih menjadi perhatian dan bahkan cenderung mengkhawatirkan. Padahal kehidupan nasional merupakan cerminan dari ketahanan nasional yang mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan (Monteiro. 2015). Konstitusi Negara UUD 1945 juga secara tegas menjunjung tinggi keberagaman. Namun sejumlah fakta di atas menunjukkan bawah persoalan relasi antar-etnis dan agama di Indonesia masih rapuh.  Ironisnya perbedaan etnis dan agama masih menjadi persoalan akut di negeri melting pot (tempat berkumpulnya suku bangsa) yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika ini (Sumardianta. 2014). Pengotak-kotakan manusia berdasarkan etnis warisan penjajahan Belanda masih eksis hingga kini. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia mencatat sejak 1998 hingga 2012 terjadi sebanyak 2.400 kasus kekerasan diskriminasi—kebanyakan soal agama (Sumardianta. 2014). Jika dirata-rata tiap tahun ada 160 konflik atau tiap 2-3 hari muncul satu konflik berlatar suku, agama, ras, dan antar-golongan. Pada Maret 2016, Lembaga Bantuan Hukum mengeluarkan laporan yang intinya memberikan nilai buruk bagi Pemerintah dalam hal mencegah terjadinya diskriminasi di berbagai sektor kehidupan bernegara (LBH Jakarta. 2016). Nyaris tak ada solusi pada sebagaian besar masalah itu. Para penyerang Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, yang menewaskan 3 orang hanya dihukum 3-6 bulan penjara. Walhasil, kekerasan berbasis SARA mendapat kesempatan untuk tumbuh subur.

Dikhawatirkan jika hal tersebut tidak ditangani dan diatasi serius oleh negara, dan negara bersikap tidak tegas serta mentolerir berbagai tindakan diskriminasi yang dilakukan baik melalui ujaran, sikap, tayangan televisi, berita maupun kebijakan negara sendiri maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, kerusuhan sosial, konflik, ketidakstabilan, dan pada akhirnya juga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

ANDRE PRIYANTO, Mahasiswa Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI