1. Rumusan Masalah
Pandemi covid-19 telah menimbulkan potensi ancaman krisis pangan di Indonesia. Potensi ancaman krisis pangan tersebut telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pertengahan Bulan April 2020. Lebih lanjut, FAO juga menyatakan bahwa pandemic covid-19 dapat mempengaruhi keamanan pangan global. Sebab, covid-19 telah mengganggu ketersediaan tenaga kerja dan rantai pasokan.
Berdasarkan case study yang telah dilakukan oleh FAO pada negara China, FAO telah mengidentifikasi letak permasalahan utama yang patut mendapatkan perhatian dalam masa pandemi Covid-19 ini, permasalahan tersebut terletak pada sektor logistik yang melibatkan pergerakan/distribusi makanan dan dampak pandemi pada sektor peternakan karena berkurangnya akses terhadap pakan ternak serta berkurangnya kapasitas rumah pemotongan hewan akibat kendala logistik dan tenaga kerja. Forecasting yang telah dilakukan FAO, kedepan akan terjadi lonjakan harga terhadap produk-produk pangan bernilai tinggi seperti daging, sayur serta buah-buahan dibandingkan kebutuhan pokok yang pasokannya masih memadai.
Berdasarkan arahan yang disampaikan oleh Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan Kementerian Pertanian, Prof. DR. Ir.Risfaheri, M.Si, distribusi pangan merupakan bagian dari sistem ketahanan pangan yang mempunyai fungsi penting untuk mendukung keterjangkauan terhadap pangan, karena merupakan rantai penghubung antara produsen dengan konsumen pangan, dan antara wilayah sentra produksi pangan dengan wilayah konsumen.
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa permasalahan distribusi pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat fisik dan non-fisik. Persoalan fisik yang paling utama adalah terkait sarana & prasarana transportasi dan angkutan barang. Sementara penyebab yang bersifat non-fisik antara lain adalah adanya perilaku pelaku distribusi yang mempunyai kekuatan untuk mengendalikan pasokan pangan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengendalikan harga serta keterbatasan informasi pasar.
Dari data yang disampaikan oleh FAO terkait permasalahan utama ketahanan pangan dalam masa pandemi covid-19, yang salah satunya adalah sektor logistik dalam pergerakan/distribusi pangan. Serta topology faktor permasalahan distribusi pangan yang disampaikan oleh Kapus Distribusi dan Cadangan Pangan Kementan, Prof. DR. Ir. Risfaheri, M.Si. Maka kajian ini mencoba menyusun suatu rumusan masalah dan landasan teori guna menjawab rumusan masalah tersebut.
Rumusan masalah dalam kajian ini adalah bagaimana permasalahan distribusi pangan dalam masa pandemic Covid-19 serta strategi apa yang harus dilakukan pemerintah guna mengeliminir ancaman ketahanan pangan yang muncul dari permasalahan tersebut.
Landasar teori yang kajian ini pakai didalam mengidentifikasi permasalahan serta mencari jawaban atas permasalahan yang telah teridentifikasi adalah berdasarkan topologi permasalahan distribusi pangan yang disusun oleh Prof. DR. Ir. Risfaheri, M.Si., yaitu permasalahan fisik dan non fisik distribusi pangan.
Sementara itu, dari sisi konsumsi dan harga pangan , kajian ini melihat upaya pemerintah untuk menjaga inflasi dan daya beli masyarakat di tengah pandemi COVID-19 sudah sesuai dan bukan menjadi suatu permasalahan lagi. Pemerintah telah memberikan stimulus fiskal sebesar Rp 405,1 triliun, di mana Rp110 triliun di antaranya akan dialokasikan dalam bentuk jaring pengaman sosial, termasuk penambahan penerima Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako (Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), kartu pra kerja, diskon tarif listrik (untuk pelanggan 450 dan 900VA), pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar, dan penyesuaian anggaran pendidikan. Hal ini setidaknya dapat mengurangi beban yang ditanggung oleh masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah atau masyarakat yang rentan terkena imbas dari penyebaran COVID-19 ini secara sosial dan ekonomi. Meskipun begitu, penerima bantuan atau fasilitas yang telah disebutkan di atas harus dipastikan benar- benar tepat sasaran dan mendapatlan pengawasan agar tujuan dari alokasi stimulus fiskal ini terpenuhi. Guna memenuhi hal tersebut, pemerintah sebaiknya melibatkan civil society, jurnalis dan Komisi pemberantasan Korupsi didalam mengawasi pelaksanaannya.
Secara global, harga pangan dunia memang tampaknya masih dalam batas wajar, setidaknya hingga Maret 2020. Berdasarkan data yang dihimpun dari Food and Agricultural Organization (FAO), harga pangan dunia secara nominal dan riil, memang mulai terjadi tren peningkatan sejak Oktober 2019 hingga Januari 2020, kemudian mulai menurun tipis pada bulan selanjutnya (Februari dan Maret 2020). Namun jika ditelaah lebih spesifik, berdasarkan data FAO Rice Price Index, komoditas pangan utama, seperti beras, sudah mulai mengalami peningkatan sebesar 3 persen dalam tiga bulan terakhir, yaitu pada bulan Januari 2020 hingga Maret 2020.
Di Indonesia sendiri, jika melihat dari data inflasi bulanan (month on month), inflasi barang bergejolak (volatile food inflation) yang didominasi bahan pangan, juga menunjukkan tren yang cenderung relatif aman sehingga tidak dikaji lebih dalam dalam kajian ini. Meskipun begitu, pemerintah perlu tetap mewaspadai kemungkinan kenaikan harga bahan pangan, khususnya menjelang hari Raya Idul Fitri pada bulan Mei 2020.
1.1. Permasalahan Fisik
Mekanisme distribusi pangan yang berjalan efisien merupakan salah satu tujuan yang akan dicapai dalam pembangunan ketahanan pangan. Salah satu indikator bahwa distribusi pangan telah berjalan sesuai yang diharapkan adalah accessability pangan serta tersedianya pangan dalam kondisi tepat jumlah dan tepat waktu disetiap tempat sesuai dengan pola kebutuhan masyarakat.
Guna mencapai accessability, tepat jumlah dan tepat waktu, persoalan fisik memegang peranan penting. Tantangan yang paling utama dalam persoalan fisik distribusi pangan adalah terkait sarana dan prasarana transportasi serta angkutan barang.
Distribusi pangan adalah kegiatan menyalurkan bahan pangan dari point of production (petani produsen) kepada point of consumption (konsumen akhir). Distribusi tidak hanya menyangkut distribusi pangan di dalam negeri namun juga menyangkut perdagangan internasional dalam suatu sistem harga yang terintegrasi secara tepat.
Kondisi Sarana dan prasarana distribusi darat dan antar pulau yang diperlukan untuk menjangkau seluruh wilayah konsumen saat ini belum memadai, sehingga wilayah terpencil masih mengalami keterbatasan pasokan pangan pada waktu-waktu tertentu, terlebih lagi pada daerah yang mengalami PSBB, karantina lokal serta self isolation. Keadaan ini akan menghambat aksesibilitas masyarakat terhadap pangan, baik secara fisik, namun juga secara ekonomi, karena kelangkaan pasokan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat.
Terkait capaian sasaran distribusi pangan secara fisik yang dapat dicapai dengan variabel sarana, prasarana dan angkutan barang, maka dalam kondisi pandemic covid-19 tantangan yang dihadapi pemerintah didalam menciptakan ketahanan pangan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena pandemic covid-19 telah membatasi accessability pergerakan kebutuhan pangan dari point of production menuju point of consumption.
Kebijakan pembatasan yang diambil oleh Pemerintah daerah maupun pusat guna membatasi penyebaran pandemic covid-19, seperti kebijakan PSBB, karantina lokal, self isolation hingga social distance telah menjadi sesuatu yang kontra produktif terhadap capaian ideal distribusi pangan secara fisik. Distribusi pangan yang ingin diperoleh secara tepat waktu dan tepat jumlah tidak tercapai secara maksimal.
1.2. Permasalahan Non Fisik Mafia Harga
Pada tahun 2017, Presiden Jokowi sudah mengidentifikasi bahwa sistem distribusi bahan pangan nasional berada dalam posisi yang masih buruk. Presiden menyatakan mata rantai distribusi kebutuhan pokok banyak yang tidak benar (tidak sesuai kondisi normatif).
Buruknya kualitas distribusi bahan pangan di Indonesia terlihat dari disparitas yang cukup lebar antara harga komoditas di level point of production dan point of consumption. Harga komoditas senilai Rp.5000 di level petani, bisa melonjak menjadi Rp. 15.000 saat sampai ke level konsumen. Presiden juga menginstruksikan Kementerian Perdagangan untuk menertibkan rantai distribusi bahan pangan yang terlalu panjang.
Berdasarkan metode literature reviews yang dilakukan terhadap Beberapa pustaka, kajian ini berhasil mengidentifikasi motivasi dari prilaku pelaku distribusi dalam mengendalikan harga pasar bahan pangan selain untuk memperoleh keuntungan dari margin harga. Motivasi tersebut adalah guna kecurangan impor bahan pangan. Dari beberapa bentuk praktik kecurangan impor yang dilakukan, kajian ini berhasil mengerucutkannya menjadi sebuah bentuk yang berhubungan dengan pandemic covid-19, yaitu pemalsuan data kebutuhan pangan.
Manipulasi data kebutuhan pangan adalah suatu cipta kondisi yang dilakukan oleh pelaku distribusi yang bertujuan guna menciptakan kesan bahwa di dalam negeri kekurangan pasokan pangan. Berikut ini adaah beberapa contoh kasus yang telah terjadi.
Kasus yang terjadi dengan tujuan manipulasi data serapan garam di Propinsi Jawa Timur (Jatim) pada tahun 2012. Selama ini Jatim mampu memproduksi garam dengan kapasitas banyak dan mampu mencukupi kebutuhan karena mendapat pasokan dari Pulau Madura selaku penghasil garam terbesar. Dibuatlah data seolah-olah garam terserap semua di masyarakat, sehingga dijadikan landasan untuk impor garam guna memenuhi kebutuhan pasar nasional. Padahal di gudang ribuan ton garam yang menumpuk.
Manipulasi data kebutuhan pangan yang lain adalah memanipulasi konsumsi beras per kapita per tahun. Besarnya impor beras Indonesia, terutama sejak 2002 lalu, diduga karena adanya manipulasi data konsumsi beras nasional. Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudohusodo, menduga adanya mark-up konsumsi beras sehingga menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk memberikan izin impor.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional, yang dijadikan acuan, konsumsi beras penduduk Indonesia per kapita per tahun rata-rata 133,484 kilogram. Padahal menurut penelitian yang dilakukan HKTI, konsumsi beras perkapita hanya 110 kilogram perkapita per tahun. Dengan demikian, konsumsi beras nasional per tahun mencapai 23,1 juta ton. Bila ditambahkan dengan kebutuhan Industri, benih, cadangan pangan dan beras susut atau tercecer, maka totalnya mencapai 29,1 juta ton per tahun.
Merujuk pada fakta tersebut, tentunya diperlukan penyempurnaan metodologi penghitungan produksi dan ketersediaan pangan. Selama ini Indonesia masih mengacu data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada tahun 2012 BPS merilis estimasi produksi padi sebesar 68 ton gabah kering giling atau setara 39 juta ton beras.
Jika asumsi konsumsi 139,15 kilogram per kapita per tahun, total konsumsi 237,6 juta penduduk seharusnya 33 juta ton. Jika memang perhitungan data produksi pangan tersebut benar, semestinya Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 6 juta ton, sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor beras. Namun faktanya Indonesia justru mengimpor beras dalam jumlah besar. Metode penghitungan kebutuhan pangan semacam itu, ironisnya, juga terjadi pada hampir seluruh komoditas seperti jagung, kedelai, dan gula. Boleh dibayangkan betapa database ketersediaan dan kebutuhan pangan Indonesia masih lemah, dan bisa dibayangkan pula ketika data tersebut dijadikan dasar dalam membuat program, yakin bahwa dilevel implementasi bisa dinyatakan kurang berhasil.
1.3. Permasalahan Non Fisik Keterbatasan Informasi
Permasalahan non fisik terkait keterbatasan informasi juga telah mendapat perhatian dari Presiden Joko widodo sejak tahun 2017. Hal ini dinyatakan Presiden pada rapat kerja Kementerian Perdagangan tahun 2017 di Istana Negara.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Joko Widodo telah mengidentifikasi permasalahan distribusi pangan yang bersumber dari minimnya sumber informasi mengenai harga-harga komoditas pangan yang semestinya bisa dengan mudah di akses oleh publik, baik dari kalangan petani, pedagang hingga konsumen.
Presiden Jokowi melihat kondisi saat ini kontras dengan situasi perkembangan teknologi informasi yang pesat. Ia berpendapat pembuatan aplikasi di ponsel yang menyediakan aneka jenis informasi lengkap mengenai perkembangan harga-harga komoditas pangan sebenarnya bukan hal yang sulit. Kemendag seharusnya juga sudah mulai mengembangkan basis data yang bisa memberikan rekomendasi akurat mengenai titik keseimbangan yang tepat antara tingkat laju harga bahan pangan, ketersediaanya dan kuota kebutuhan impor untuk memenuhi kekurangan pasokan.
Komponen informasi yang diperlukan oleh konsumen akhir selaku point of consumption dari petani selaku point of production terdiri dari tiga komponen informasi, yaitu informasi terkait dengan tingkat harga, jumlah pasokan serta angka supply dan demand.
Dari pengamatan dilapangan, dapat dilihat bahwa rantai informasi antara petani selaku point of production dengan konsumen akhir selaku point of consumption, dipisahkan oleh pelaku bisnis pangan. Mengutip pernyataan Presiden Jokowi, kondisi ini telah menciptakan asimetris informasi terhadap petani dan konsumen akhir. Mereka tidak mengetahui harga pasar ideal yang tercipta secara by nature oleh dinamika suppy (permintaan) dan demand (penawaran), yang meraka tahu hanyalah harga pasar angka supply dan demand secara by design yang telah dikondisikan oleh pemegang informasi, yaitu pelaku bisnis pangan.
Dalam sebuah pasar persaingan sempurna, tingkat harga terbentuk dari keseimbangan (titik equilibrium) antara supply (penawaran) dan demand (permintaan). Namun demikian, kondisi real harga pangan di Indonesia tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh mekanisme keseimbangan antara supply–demand saja, namun juga dipengaruhi oleh rantai distribusi komoditas pangan. Salah satu faktor yang berpengaruh besar dalam efisiensi rantai distribusi adalah kinerja masing-masing pelaku distribusi.
Saat ini, petani selaku produsen pangan menghadapi pasar yang mengarah kepada oligopsoni (banyak penjual-sedikit pembeli), sehingga kedudukan middleman (pedagang besar) menjadi jauh lebih kuat dari petani maupun pedagang eceran. Dalam perdagangan antar wilayah, peran terbesar juga ada pada pedagang besar. Kondisi ini menyebabkan adanya pihak dalam rantai distribusi pangan yang mempunyai kekuatan dalam penentuan harga (price maker) antara lain karena mempunyai kekuatan untuk mengendalikan stok dalam jumlah besar.
Dalam kondisi rantai distribusi yang tidak efisien, pihak yang berlaku sebagai price maker akan sangat mudah mempengaruhi harga pangan antara lain dengan menahan peredaran stok pangan yang dikuasainya. Hal inilah yang menjadi motivasi pelaku bisnis menciptakan kondisi asimetris informasi terhadap petani dan konsumen guna memperoleh keuntungan yang tinggi.
Jika petani selaku point of production dengan konsumen akhir selaku point of consumption memiliki informasi terkait tingkat harga, pasokan maupun informasi terkait supply dan demand baik di tingkat point of production maupun point of consumption, maka kecil kemungkinan middleman bisa menjadi pricemaker. Karena semua rantai distribusi pangan memiliki informasi yang simetris sehingga dapat menentukan posisi tawar menawar.
2. METODE
2.1 Pendekatan & Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif peneliti pilih karena penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ancaman pandemic covid-19 terhadap ketahanan pangan nasional melalui fenomena-fenomena sosial yang terjadi dari sudut pandang subjek, dimana peneliti merupakan instrumen kuncinya.
Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para informan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data.
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis deskripsi kualitatif dengan mengidentifikasi bentuk ancaman pandemic covid-19 terhadap ketahanan pangan. Penelitian deskriptif kualitatif berupaya untuk mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan bentuk ancaman pandemic Covid-19 terhadap ketahanan pangan, dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan yang ada.
2.2 Validasi Data
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi didalam tahap validasi data. Teknik triangulasi adalah pengecekkan data dengan mencocokkan dengan sesuatu di luar data itu sebagai bahan perbandingan. Teknik triangulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung.
2.3 Metode Pengumpulan Data
Sumber data utama yang diperoleh peneliti dalam penelitian ini adalah kata-kata, tindakan dan data tambahan seperti dokumen lainnya. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data untuk mendapatkan sumber data utama dan tambahan. Jenis data yang didapatkan dalam pengumpulan data ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara mendalam dengan informan, sedangkan data sekunder didapatkan dari observasi dan studi dokumen-dokumen yang terkait dengan tujuan penelitian.
2.4 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan oleh peneliti sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilakukan. Data diperoleh, kemudian dikumpulkan untuk diolah secara sistematis. Dimulai dari wawancara, observasi, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, selanjutnya aktivitas penyajian data serta menyimpulkan data. Teknis analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif guna mengidentifikasi permasalahan dan menyusun suatu strategy problem solving dengan menggunakan metode Blue Ocean Strategy.
3. PEMBAHASAN
3.1 Blue Ocean Strategy
Dalam menjawab rumusan masalah yang sudah terientifikasi, kajian ini mencoba untuk merumuskan suatu strategy problem solving dengan menggunakan metode Blue Ocean Strategy.
Tujuan blue ocean strategy adalah tidak untuk bergabung dalam persaingan pada industri yang sudah ada, melainkan menciptakan ruang pasar baru atau menciptakan samudra biru dan membuat persaingan menjadi tidak relevan lagi. Blue Ocean Strategy menawarkan satu set metodologi dan alat-alat untuk menciptakan ruang pasar baru. Kajian ini melihat Blue Ocean Strategy mampu menawarkan suatu metodologi dan proses yang sistematis dan dapat diperbaharui dalam menyelesaikan permasalahan distribusi pangan dalam masa pandemic covid-19.
Berdasarkan tujuan akhir BOS yang menciptakan diferensiasi dan harga rendah secara bersamaan melalui tiga konsep kunci, yaitu: nilai inovasi, penerapan kepemimpinan tipping point, dan proses yang adil. Maka kajian ini menganggap metode BOS merupakan yang paling sesuai guna menjawab permasalahan distribusi pangan dalam kondisi pandemic covid-19.
Melalui metode BOS, para petani dan konsumen akhir dapat menyelesaikan permasalahan fisik dan non fisik distribusi pangan yang selama ini tidak dapat terselesaikan karena unsur asimetris capability. Dengan metode BOS, petani selaku point of production dan konsumen selaku point of onsumption dapat mengeliminir kelemahan yang dimiliki oleh mereka didalam menghadapi permasalahan distribusi pangan.
3.2 Blue Ocean Strategy Distribusi Pangan Dalam Pademi Covid-19
Selain menghadapai permasalahan yang sudah ada terkait distribusi pangan, baik fisik maupun non fisik. Ketahanan Pangan pada saat ini juga mendapat tekanan dari kondisi distribusi dalam pandemic Covid-19, sehingga menambah tingkat ancaman terhadap ketahanan pangan.
Jalur distribusi pangan menjadi sesuatu yang sangat penting karena komoditas pokok pangan merupakan kebutuhan masyarakat yang tidak bisa ditunda maupun tergantikan di tengah pandemi COVID-19. Protokol distribusi/logistik kebencanaan tentu saja menjadi acuan awal bagi perumusan distribusi/logistik pangan, tetapi lain hal dengan pandemi COVID- 19 yang terhitung sebagai bencana non-alam yang memang lebih fleksibel bentuknya. Hal ini dpat dilihat pada Gambar 1. Indonesia Logistic Emergency protocol Framework.
Jalur distribusi logistik memiliki peran yang sangat strategis di tengah pandemi virus ini, terutama dalam hal penanganan wabah dan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, khususnya yang terkait dengan pangan. Masuknya komoditas pangan melalui jalur darat, laut dan udara menjadi titik- titik yang perlu menjadi perhatian sebelum distribusi komoditas tersebut tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, khususnya ke daerah-daerah yang mengalami kebijakan pembatasan seperti PSBB atau karantina lokal.
Pembatasan-pembatasan yang dilakukan baik oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat telah mempersulit capaian sasaran distribusi pangan secara fisik seperti accessability, tepat jumlah dan tepat waktu. Selain itu, ancaman permasalahan distribusi pangan non fisik juga berpotensi akan dimanfaatkan oleh pelaku distribusi guna memainkan harga hasil equilibrium suppy dan demand yang ada dipasar. Hal ini akibat dari tidak mumpuninya aliran informasi terkait harga, pasokan, jumlah supply & demand yang tersedia dari petani ke konsumen akhir.
Guna mengeliminir ancaman distribusi pangan tersebut, kajian ini mencoba menyusun suatu strategy problem solving dengan metode Blue Ocean Strategy. Pemilihan metode BOS adalah karena kebutuhan akan unsur kecepatan dan ketepatan didalam mnghadapi ancaman yang muncul, sehingga metode konvensional dianggap tidak akan mampu menjawab permasalahan.
Didalam menyusun strategy problem solving, kajian ini mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh organiasi pelaksana dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya. Baik terkait dengan kapabilitas dibidang teknologi dan struktur organisasi yang dimiliki.
Dalam masa pandemic covid-19, kajian ini telah berhasil mengidentifikasi variable utama permasalahan ketahanan/keamanan pangan, yaitu permasalahan distribusi pangan. Varibel utama tersebut terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu permasalahan distribusi pangan secara fisik yang terdiri dari sarana dan prasarana serta angkutan barang.
Sedangkan permasalahan non fisik terdiri dari dua hal. Yang pertama prilaku pelaku distribusi (pelaku pasar) dalam mengendalikan harga, atau yang biasa disebut dengan mafia harga. Motivasi para pelaku bisnis melakukan hal ini adalah guna meningkatkan selisih harga perolehan pada petani selaku point of production dengan harga penjualan pada konsumen akhir selaku point of consumption. Selain guna meningkatkan selisih harga, praktek pengendalian harga juga memiliki motivasi untuk meningkatkan quota impor. Biasanya hal ini terjadi dengan melibatkan oknum aparatur pemerintah maupun state actor dari negara lain.
Permasalahan fisik yang kedua adalah keterbatasan informasi pasar (asimetric information) antara petani selaku point of production dengan konsumen akhir selaku point of consumption. Aliran informasi yang esensial diperlukan oleh point of production dan point of consumption terdiri dari tiga informs utama, yaitu tingkat harga, jumlah pasokan serta angka supply-demand.
Melalui metode Blue Ocean Strategic (BOS), kajian ini telah merumuskan suatu problem solving sebagai upaya antisipasi ancaman ketahanan/keamanan pangan didalam masa pandemic covid-19. Berikut adalah hasil rumusan tersebut.
3.31. Permasalahan Fisik.
Didalam merumuskan problem solving guna mengatasi ancaman ketahanan/keamanan pangan yang disebabkan oleh faktor fisik yang berupa sarpras & angkutan barang pangan dalam masa pandemic covid-19, kajian ini menggunakan Framework Indonesia Logistic Emergency Protocol.
Dalam framework Indonesia Logistic Emergency Protocol, jalur distribusi terbagi menjadi dua, yaitu relief supply chain dan relief distribution chain. Seperti yang terlihat pada gambar 1. Relief supply chain diawali dari kegiatan relief supplier pangan, baik domestik maupun internasional menuju central warehouse. Dalam tahap ini distribusi pangan secara fisik terjadi dalam skala besar baik melalui jalur darat, laut maupun udara. Kemudian setelah pangan terkumpul di warehouse, maka langkah selanjutnya supply pangan akan didistribusikan ke regional relief distribution centers. Dari sana, logistik pangan akan didistribusikan lagi menuju affected region. Dua tahap distribusi terakhir merupakan bagian dari relief distribution chain.
Terkait relief supply chain, karena membutuhkan sumberdaya yang tinggi dengan memperhatikan unsur keamanan akibat situasi pandemi covid-19, maka kajian ini menyarankan agar dikoordinasi oleh state actor, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain itu, sumber supply chain pangan yang tidak hanya berasal dari sumber lokal saja, akan tetapi juga melalui sumber pangan dari luar negeri, akan menambah kompleksitas sistem distribusi pangan yang harus dibuat. Hal ini membutuhkan lembaga yang memiliki sumberdaya yang besar serta otorisasi luas.
Kajian ini akan fokus merumuskan problem solving guna menyelesaikan permasalahan distribusi fisik dalam ketegori relief distribution chain. Sehingga titik awal problem solving permasalahan distribusi pangan secara fisik adalah regional relief distribution center dan titik akhir adalah konsumen selaku point of consumption. Sasaran yang ingin dicapai terkait permasalahan fisik adalah accessability, tepat jumlah dan tepat waktu.
Berdasarkan framework Indonesia Logistic Emergency Protocol, kajian ini mencoba menyusun para pelaku ditiap tahap distribusi. Hal ini seperti yang terlihat pada gambar 1. Dalam gambar tersebut, tiap pelaku distribusi merupakan perpaduan antara state actor dan non state actor. Pelaku Warehouse dalam setiap tahap adalah state actor seperti Kementerian, pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat Kota/Kabupaten hingga tingkat kecamatan. Pemilihan state actor dikarenakan state actor memiliki sumber daya dan otorisasi yang mumpuni, sehingga pekerjaan menjadi lebih efisien.
Untuk pelaku distribusi angkutan barang pangan dari tahap warehouse (Titik tengah tiga kota) menuju regional relief distribution center (Pemkot/Kabupaten) akan dikelola oleh Badan Usaha Milik (BUMD Propinsi) Daerah tingkat propinsi. Setelah logistik pangan sampai di regional distribution center, maka tahap selanjutnya logistik pangan akan didistribusikan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tingkat Kota/Kabupaten keseluruh affection regional. Dari titik affection regional, selaku point of selling ke konsumen akhir, barang pokok pangan akan didistribusikan menuju konsumen akhir dengan menggunakan transportasi online maupun jasa kurir pengiriman barang.
Hal ini guna menghilangkan penjualan barang pokok pangan secara tradisional (konsumen akhir bertemu langsung dengan penjual). Pembeli akan memesan barang ke affection region ditiap-tiap kecamatan dengan menggunakan aplikasi online, SMS maupun melalui telepon.
Selain itu guna mengantisipasi konsumen akhir yang tidak memiliki sarana dan prasarana seperti yang disebutkan, maka ditiap-tiap RW akan ada tim pendata yang secara periodik mendatangi warganya guna memonitoring kebutuhan pokok pangan dan melakukan pemesanan ke affection region. Dengan sistem ini, capaian ideal sarana prasarana & angkutan barang akan tercapai secara maksimal. Sebab ketiga unsur yang terdiri dari accessability, tepat jumlah dan tepat waktu akan tercapai.
3.32. Prilaku Pelaku Distribusi Dalam Mengendalikan Harga
Permasalahan kedua didalam distribusi pangan dalam kondisi pandemic covid-19 adalah prilaku para pelaku distribusi dalam mengendalikan harga, atau yang biasa dikenal dengan istilah mafia harga. Motivasinya adalah meningkatkan margin keuntungan dan meningkatkan quota impor.
Hal ini dapat ditanggulangi dengan mengurangi peran pelaku bisnis selaku perantara antara point of production dengan point of consumption. Peran point of selling yang dipegang oleh pelaku bisnis akan dibagi dengan pemerintah. Tahap pelaku bisnis dalam distribusi pangan akan menjadi perpaduan antara non state actor dengan state actor. Dalam komposisi seperti ini, oknum pelaku bisnis yang sering menahan supply barang pangan guna meningkatkan margin dan mendapatkan quota impor akan lebih sulit untuk melakukan modus operandinya, sebab fungsi middleman yang diembannya telah terdistribusi.
3.33. Keterbatasan Informasi pasar
Permasalahan ke tiga yang dihadapi dalam distribusi pangan pada masa pandemic covid-19 adalah keterbatan informasi pasar terkait tingkat harga, julah pasokan serta angka supply-demand. Point of production dengan point of consumption tidak memperoleh pengetahuan tentang ketiga unsur tersebut.
Kajian ijin menyarankan dibangun suatu sistem informasi yang sudah lazim digunakan oleh pihak privat didalam mengelola manajemen logistiknya. Aplikasi tersebut bernama Enterprise Resource Planning (ERP).
Enterprise Resource Planning (ERP) adalah sebuah aplikasi manajemen bisnis yang memudahkan pengelolaan bisnis secara terintegrasi. ERP mengintegrasikan berbagai sistem informasi di dalam suatu jaringan distribusi. ERP mampu menyediakan informasi secara real-time tentang proses bisnis pangan mulai dari point of production di petani, order processing, dan inventory management hingga konsumen selaku point of consumption. ERP memantau sumber daya sistem produksi pangan seperti bahan mentah, kapasitas produksi petani, dan penjualan di middle man. ERP juga dapat dipergunakan untuk mengelola status komitmen bisnis yang dibuat misalnya customer orders pangan hingga purchase orders pangan. Dengan ERP, data dapat dimasukkan ke dalam sistem dari berbagai tahap rantai distribusi pangan dalam kondisi pandemic covid-19, mulai dari tahap relief supply chain hingga relief distribution chain. ERP akan mengelola data pangan secara sentral sehingga hanya perlu sekali saja memasukkan data untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh berbagai proses rantai distribusi pangan lainnya. ERP melancarkan arus informasi yang berjalan lintas fungsi di dalam organisasi sampai kepada hubungan dengan para stake holder di luar rantai distribusi pangan seperti pemerintah, civil society (ICW, Serikat Tani dan akademisi) maupun lembaga adhoc yang mempunyai kapabilits seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

Yudha Fernando, SE.,M.Si.,M.Kom.,CEH.,ECIH
-Dosen Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia-